Tag
(Kompas.com 24 Januari 2012)
#1
Kulipat waktu, lalu kumasukkan ke saku.
“Mas, apakah kau benar-benar mencintaiku?”
“Tentu, Divine. Engkaulah wanita yang kuharap selama ini. Tidak ada ragu sedikitpun darimu. Engkaulah Laila yang membuatku– Majnun, tergila-gila kepadamu”
“Terima kasih, Mas..”
Peluk hangat meresap ke sekujur badanku. Kemudian kami berbaring bersama di bawah purnama, di atas Tugu Monas Jakarta.
Divine. Bagaimana tidak kumencintaimu. Engkau perempuan dengan visi yang luar biasa yang pernah kujumpa. Berpuluh-puluh wanita telah kugauli dengan melihat visinya, masa depannya. Aku berhubungan dengan mereka karena mereka membutuhkan kasih sayang. Tentu, aku tidak akan menjalin kasih dengan wanita sembarangan. Masa depan mereka tidak akan berantakan. Setidaknya mereka akan hidup normal sediakala seperti sebelum mengenalku.
Kau tahu, Divine. Karena aku bisa membaca masa depan. Sejelas bulan akan berwujud purnama pada tanggal lima belas Lunarian. Jika melihatmu, kulihat terang. Kulihat jalan panjang menjulang bermandikan cahaya di sisi-sisinya. Bagaikan Tangga Yakub yang berkilau. Aku seperti akan menemui Tuhan.
#2
Tidak begitu jelas kapan pertama kalinya aku bisa melihat masa depan. Yang kuingat, saat aku kelas empat, sewaktu ada pemilihan Camat, aku melihat Pak Rohmat yang mempunyai usaha jamu dan obat memegang piala di atas podium. Kukatakan pada Bapak, “Pak Rohmat adalah Pak Camat”. Dan Bapak mengatakan kepada teman sejawat. Teman sejawat Bapak menceritakan kepada kerabatnya. Kerabat dari teman sejawat Bapak menceritakannya kepada temannya yang bekerja sebagai Satpam Kabupaten. Sampai-sampai satu Kabupaten, termasuk Pak Bupati mengetahui kabar itu.
Saat penghitungan suara, semua orang terbelalak. Orang-orang belingsatan seperti punya bisul di pantat. Pak Rohmat menang mengalahkan tiga kandidat lainnya dengan perbandingan yang tidak masuk akal, 56:24:15:5. Padahal Pak Rohmat baru saja berumur tiga puluh empat.
Pak Rohmat berjaya. Aku diarak keliling desa. Diangkat-angkat. Dimintai nasehat, dimintai berkat. Lalu, akhirnya Bapak membuat padepokan di depan rumah. Membikin orang-orang supaya mengantri jika hendak bertemu denganku.
Mereka berarak-arak, berjubel-jubel minta nasehat dan berkat. Saat itu aku tak kuat. Kulihat masa depan beribu orang. Bahagia, nestapa, sukses, hancur, mulia, hina dan kematian. Aku menangis-nangis tiap hari. Sampai akhirnya, Bapak memberikan segelas air ledeng kepada para pengunjung dan berucap air tersebut sudah dijampi-jampi olehku.
***
Aku melihat api berkobaran.Aku melihat orang-orang membawa parang dan aku melihat rumahku hilang tanpa jejak.
“Bakar rumah itu, Bakar!!”
“Hilangkan kemusyrikan dari desa kita!!” Begitu teriak-teriak warga sambil membawa obor yang menyala.
“Mana Karta? Mana anaknya?! Bawa semua keluar!” seorang lelaki bersorban memerintahkan beberapa pemuda berbadan kekar.
“Penyembah iblis! Penyembah iblis!!” Mata orang-orang memerah. Parang di tangan diacung-acungkan. Sumpah serapah terlontar. Mereka telah kerasukan.
“Potong tangannya!” seru pemuda bersenjata parang.
“Potong kakinya!” seru yang lainnya.
“Potong kepalanya!” seru iblis dari kejauhan.
Lalu, semua memekat dalam angkara. Awan hitam menggelayut di atas desa. Cuma desa itu saja. Lain berhias bintang.
Aku merasa gila. Kepalaku seakan mau meledak. Hingga akhirnya, pada malam purnama aku meninggalkan rumah. Pergi ke entah.
Dua hari kemudian kudengar kabar di kampungku terjadi kekacauan. Rumah seorang dukun dibakar dan diporak-porandakan. Penghuninya dibunuhi, dimutilasi, lalu dibuang ke api yang berkobar. Warga murka karena semua yang berobat menemui ajal dengan perut yang membusung dan cairan muntah yang keluar dari mulut.