(Dimuat di Kolom Puisi Oase Kompas.com, Tautan: Puisi )

 

Kepada Engkau yang Tiba-tiba Membuatku Rindu

 

membaca gerimis jatuh, membaca kemana rindu akan berteduh

di bantaran sungai doa, sebentar, aku akan mengingat kemana

segala benci akan berpiuh, menuju rindu yang berulangkali akan

kulempar sebagaimana sauh menjejaki samudera-samudera jauh

 

 

disini, pada gumpalan dada, segala silap akan kuungkap kepada

engkau, yang tak henti-hentinya merajut doa-doa, menyalip

dosa-dosa sehingga kelak tiada lagi silap, hanya kilap yang

bermukim dalam dada menggali maaf sebagai makam-makamnya

 

kepada engkau yang  beberapa saat tadi telah memeluk

kesepian, aku sangat merindukanmu, pada beberapa

lajur gerimis malam, pada deru haru yang tiba-tiba

menembus dada.

 

kesepian, barangkali telah menjadi musuh kita bersama

maka sejenak saja, ingin kuganti kesepian ini dengan

bau keringat tubuhmu, bau rambut kusut sebab seharian

bergelut dengan rupa-rupa pekerjaan kacung:

mengepel lantai, merajut baju, meniup api pada dua tungku

serta meluruskan tiap jengkal kusut yang ada pada jantungku

 

adakah yang lebih biru dari rinduku padamu, Ibu?

2011

Setulus Kasih, Setulus Doamu, Ibu

di hatiku yang hutan
bermukim seorang peri perempuan.

setiap pagi menjelang
ia menyirami tetumbuhan yang
telah ranum lagi berbunga
“tiadalah sehelai daun akan kubiarkan kering.”

pernah suatu ketika
hutan-hutan kering tersebab
api yang kusulut sendiri.
dan peri itu kulupakan
atau kulapukkan ke
dalam onggokan daun-daun busuk.

lalu dengan ajaibnya
ia kembali menumbuhkan
tunas-tunas dari pohon
harapan yang telah tumbang
dan memupuknya, dan membimbingnya.

sampai kini, bila malam menjelang
di dadaku terdengar gema
doa dari peri yang tak hentinya
berdzikir pada gubuk tua.

2011

 

Pohon Cita-Cita

dahulu di tubuhmu tumbuh pohon yang tiba-tiba besar
lalu menyusut, mengerdil, tiap waktu saling silang
dengan hidup di tiap hadap harap dalam waktu yang
melulu memakan tiap jengkal usia.

sempat buah-buahnya bertanggalan, pada suatu waktu,
ketika tanggalan menunjuk hari yang membuat engkau
semakin besar, semakin manusia, pada saat itu
—hanya pada saat itu— ia berbuah, selanjutnya ia
akan terus mengerut dan mengarat
sampai hanya menjadi alit atau alat cerita:
“dahulu aku punya pohon cita-cita”

terhadap hidup yang kian melintang,
engkau akan melantang kepada dunia
mengenai takdir-takdir yang telah karam,
sebab Tuhan tidak akan kembali mengirim
masa lalu, masa yang sama saat asa ada.

namun, demi kemasalaluan yang semakin terkubur,
tetaplah menatap ujung waktu.
kerna selain masa lalu, waktu membangun pula
masa depan. sebab hidup, bukanlah pilihan,
bukanlah penerimaan, namun perihal mencapai
tujuan.

2011

 

Perihal Hari Lalu dan Malam Jumat

 

menatap kenangan, seperti melihat senja yang sedang tenggelam
waktu berhenti, lima senti dari pinggir jalan
yang akan kau temui usia-usia yang makin berjarak.

lima undangan pada meja,
buku-buku yang tergeletak begitu saja,
serta ruap pakaian pada keranjang sehabis menutup kerja
(mereka seolah merekam jejak waktu lalu,
jejak dari hidup yang melulu terus berlalu)

ini malam jumat, selepas ayat-ayat Yaasiin lamat-lamat
terucap dari bilik seberang, bilik sebelum selesai lima kalimat.

menulis sajak pada malam jumat, tidak lebih mulia
daripada berbuih ucap, mengeja Qur’an barang satu ayat.
pada yang lalu, pada dosa belum sebanyak udara,
seorang lebai memberikan petuah:
bacalah ayat-ayatNya, pada alam semesta, pada segala
yang ada pada dunia. tidakkah segala sesuatu ada karena sebab?
maka kalimatkan, sebelum segala sesuatu menjadi lupa.

menatap kenangan, adalah membaca jejak kehidupan
membaca sebab-sebab, membaca cara Tuhan bekerja.

ini malam Jumat, aku mengalimatkan, membaca
tanda-tandaNya pada sesudah
pada waktu yang terus saja berubah.

2011

 

Biodata:

Muhammad Nurcholis lahir di Cilacap, 22 Juni 1986. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan sekarang tinggal di Jakarta. Menulis cerpen dan puisi di sela kesibukannya bekerja sebagai PNS. Facebook: Muhammad Nurcholis. Twitter: @n_choliz